Oleh; Nandang Burhanudin
Saya mungkin bukan siapa-siapa di jalan dakwah ini. Bukan muassasis,
bukan assaabiqqunal awwaluun, bukan pula qiyadah yang turut berpeluh
membesarkan dakwah. Bisa jadi saya hanyalah sekedar penumpang, yang
turut bayar tiket, taat aturan perjalanan, tidak suka mengotori kereta,
dan tak memiliki keberanian untuk turun loncat di tengah
perjalanan.Apalagi "sok tahu" menasihati masinis kereta.
Sepanjang perjalanan itu, saya cermati laju dakwah ini, acap
memperhatikan dan bertemu dengan beragam penumpang. Mereka berasal dari
latarbelakang, suku, bahasa, hobi, kebiasaan, hingga style hidup yang
berbeda pula. Akan tetapi persamaan di antara mereka sangat kentara.
Yaitu sama-sama: tidak merokok!
Karena perjalanan dan jarak
tempuh yang jauh. Plus kondisi rel yang kadang naik turun, berkelok,
bahkan di beberapa tempat sering anjlok. Saya perhatikan, tak sedikit
penumpang itu yang turun ketika kereta anjlok. Malah ada penumpang yang
tidak puas. Bukan sekedar turun, namun ia caci maki masinis, para
penumpang yang masih bertahan, hingga mencoret-coret kereta dengan
kata-kata yang terkadang menyakitkan.
Saya sebagai penumpang
baru, tak tahan untuk bertanya; mengapa tim teknis yang dahulu merancang
perjalanan, mendesain format kereta, dan menentukan masinis, namun
berhenti di tengah jalan saat kereta anjlok? Bukankah memang rel kereta
yang akan dilalui itu berkelok, jauh, dan melewati rintangan yang tak
sedikit?
Saya memiliki kesimpulan sendiri. Semua itu berbasis pada pemahaman. Kesimpulan itu adalah:
1. Pemahaman tentang dakwah itu tidak dilihat sejak kapan ia bergabung
dengan dakwah. Tapi pemahaman itu dilihat dari kesigapan kader-kader
dakwah menghadapi turbulensi, anjlok, jalan berkelok, hutan belantara,
dan mungkin lokomotif yang bermasalah.
Karena suatu fikroh yang brilian akan sirna, ketika ia mengalami erosi pemahaman;
=> Erosi karena paradigma yang sempit dan sektoral.
=> Erosi karena pola sikap yang tidak beranjak kepada hal-hal substansial.
=> Erosi karena energi (waktu-sumber daya) untuk kerja tersita hal-hal yang sia-sia.
=> Erosi karena mencampuradukkan antara wasilah (proses) dengan tujuan (ghayah).
2. Pemahaman tentang dakwah tidak dilihat dari posisi/marhalah/level atau jabatan apa yang diemban seorang kader dakwah.
Tak sedikit yang salah kaprah memahami marhalah atau jenjang dalam
dakwah. Ada yang menganggapnya sebagai karir. Adapula yang menjadikannya
sebagai takrim (pemuliaan). Padahal saat berada di level/marhalah
dakwah itulah, ujian pemahaman sebenarnya tengah dimulai dan terus
berlangsung. Malah menurut perhatian saya, sering menemukan penyimpangan
pemahaman itu terjadi di level-level tinggi.
Penyebabnya:
=> Ketidakmampuan membaca kondisi dan telah dikontrol hawa nafsu.
=> Takjub dengan pendapat sendiri, bahwa pendapatnya yang paling benar.
=> Penakwilan yang tidak tepat.
=> Menjadikan AD/ART organisasi atau manhaj sebagai tabi' (follower) bukan lagi matbu' (yang diikuti).
3. Pemahaman tentang dakwah pula tidak dilihat dari berapa jenis buku
yang dilahap, berapa Doktor yang ditalaqqi, berapa pelatihan yang
dijalani.
Imam Hasan Al-Banna mengatakan:
"إن ميدان القول
غير ميدان الخيال، وميدان العمل غير ميدان القول، وميدان الجهاد غير ميدان
العمل، وميدان الجهاد الحق غير ميدان الجهاد الخاطئ"
"Medan
retorika berbeda dengan medan imajinasi. Medan kerja tidak sama dengan
medan retorika. Medan jihad tak sama dengan medan kerja.Medan jihad yang
benar berbeda dengan medan jihad yang salah."
Atas dasar ini, saya paham, bahwa tak ada yang menentukan laju jalan dakwah ini selain tiga hal:
(1). Persepsi yang sama tentang visi-misi dakwah; (2). Keyakinan
mendalam bahwa dakwah ini adalah elemen terpenting bagi kebangkitan
umat; (3). Kesatuan hati dan derap langkah, tidak berhenti di jalan dan
juga tidak menjadi qodhoya adalah hal yang dapat mempercepat laju dakwah
ini.
Jadi, mari kembali mengeja pemahaman kita!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar