BERANDA

Senin, 24 Juni 2013

Mari Berjamaah, Jangan Sekedar Berkerumun


By: Nandang Burhanudin
*****

Tak ada seorang pun muslim berakal, melainkan akan merasa berduka, sedih, tersayat, galau, dan gundah gulana saat umat Islam dinistakan bangsa-bangsa penyembah berhala dan beraliran sesat.

Sebagaimana tak seorang pun aktivis Islam yang benar-benar memperjuangkan 'izzul Islam wal Muslimin, melainkan ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghimpun barisan, menyatukan langkah, dan membersamakan Islam dalam satu pemahaman komprehensif: Islam yang unggul dan tidak ada yang mengungguli.

Namun di tataran realitas, justru yang terjadi adalah kebalikannya. Mengapa elemen umat yang berbeda ormas atau madzhab, tapi bisa bersatu bila memiliki kesamaan hobi. Misalnya; perokok aktif akan sama-sama memiliki kesamaan hobi, walau latarbelakang berbeda. Lain halnya dengan aktivis gerakan Islam, semakin mengkaji Al-Qur'an dan Sunnah, malah semakin berpisah.

Apa gerangan yang salah? Menurut hemat saya, kesalahan itu terletak pada dua hal:

Hal pertama: Status keterikatan dengan gerakan Islam baru sebatas intisab (keterikatan emosional) belum pada intizham (keterikatan konseptual).

Status keterikatan secara emosional ini, sangat mudah dipatahkan. Hanya bila ada kasus atau fenomena like and dislike, aktivis gerakan Islam ini mudah goyah, galau, bahkan futur sebelum di kemudian hari malah menjadi penentang dan pembocor rahasia yang menurutnya supersecret.

Selain itu, status intisab ini pula cenderung frontal di saat kesal, mencaci maki di saat benci, ringkih di saat merasa tersisih. Namun ketika cinta melanda, maka tipe ini sangat fanatik, merasa paling benar, paling sesuai manhaj, dan menapikan kebaikan pada orang lain.


Tentu tipe intisab ini masuk dalam kategori "belum matang". Maka bisa dipastikan siapapun dan dimanapun berada, aktivis gerakan Islam yang baru sebatas intisab akan sulit menemukan fokus perjuangan. Jika pun berjuang, maka belum mencapai "isi", "substansi", ataupun "nilai".

Bila ia bergabung di JT, maka yang ia banggakan adalah: khurujnya. Sedangkan substansi khuruj tidak ia raih. Bila di tarbiyah, maka ia banggakan marhalah-nya, bukan substansi tarbawinya. Bila di HTI, ia gembar-gemborkan Islam kaaffah yang sebatas berganti bendera, anti riba tapi uangnya masih pake unsur riba, dll. Bila di Persis, maka ia akan mudah membid'ahkan apapun yang tidak ada di zaman Nabi. Bila di Muhammadiyah, maka akan digembar-gemborkan kemajuan sosialnya, bukan substansi perjuangan KH. Ahmad Dahlannya. Bila di NU, maka ia akan banggakan shalawatannya, lupa akan perjuangan KH. Hasyim Asy'arinya. Namun fokus kerja dan amal ia sendiri, tidak terlalu nampak. Bangga dengan organisasi yang memang sudah besar. Sementara dirinya tetap kerdil.


Hal kedua: Efek hal pertama adalah, rata-rata personal gerakan Islam sulit berpadu dalam satu tansiq (koordinasi) dan ta'awun (kerjasama tim), padahal masih satu Kiblat, satu Al-Qur'an, dan satu Nabi.

Jika Islam itu satu bangunan, sedangkan ormas atau gerakan Islam itu adalah batu bata dan elemen yang memperkokoh dan memperindah bangunan Islam itu, maka mengapa aktivis gerakan Islam sudah bertemu dalam satu meja, berpadu dalam satu kesepakatan untuk menghadapi problem bersama:
=> Kemiskinan, bukankah umat Islam miskin?
=> Kebodohan, bukankah umat Islam bodoh?
=> Keterbelakangan, bukankah umat Islam terbelakang?
=> Keterjajahan, bukankah umat Islam terjajah?
dll.

Kini kita lihat bersama: tansiq dan ta'awun itu seakan sulit dilakukan, walau hanya dalam forum-forum formal. Tengok masalah Al-Aqsha, kiblat pertama umat Islam. Kita bisa melihat bersama, mana gerakan Islam yang konsisten dan tak pernah surut menjadikan Al-Aqsha sebagai masalah sentral umat Islam. Bahkan seorang pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin, Imam Asy-SYahid Hasan Al-Banna mengatakan, "Tugas Ikhwanul Muslimin tidak akan pernah berhenti, hingga 1 nyawa terakhir Yahudi yang memerangi terbunuh." Bahkan di kesempatan lain beliau mengatakan, "Ikhwanul Muslimin akan bubar, seiring bubarnya Zinonis."

Namun di sisi lain, gelora membela Al-Aqsha justru yang nyaring terdengar adalah: menyerang elemen yang telah jelas membela Al-Aqsha, mengkafirkan, atau mengumbar fitnah. Justru keanehan yang muncul. Objek yang dibela sama. Tapi pengaruhnya jauh berbeda. Yang satu benar-benar melawan musuh. Sedang yang kedua, malah menelikung kawan, menggunting dalam lipatan, dan sangat menguntungkan musuh.

Kesimpulan
Jadi inti dari berjamaah adalah:
1. Menyelami hingga jauh ke dalam, untuk kemudian diimplementasikan dalam amal nyata: berjamaah karena manhaj bukan karena figur.

2. Inti dari berjamaah adalah tansiq dan ta'awun (koordinasi dan kerjasama) demi mencapai tujuan yang sama. Percuma kita berada dalam satu ormas/jamaah, jika kita tidak mampu tegar menghadapi ujian, fitnah, atau kondisi darurat. Percuma kita hidup berjamaah kalau yang kita jalani hanya yang enak-enak saja. Sementara di kala susah, kita mundur teratur. Dan jangan berbicara persatuan umat Islam, jika hanya masalah kecil saja, kita tak mampu menjaga keutuhan di internal rumah sendiri. Dengan demikian, jelas beda antara berjamaah dengan berkerumun bukan?

Wallahu A'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar