By: Nandang Burhanudin *****
Tak ada seorang pun muslim berakal, melainkan akan merasa berduka,
sedih, tersayat, galau, dan gundah gulana saat umat Islam dinistakan
bangsa-bangsa penyembah berhala dan beraliran sesat.
Sebagaimana tak seorang pun aktivis Islam yang benar-benar
memperjuangkan 'izzul Islam wal Muslimin, melainkan ia akan berusaha
sekuat tenaga untuk menghimpun barisan, menyatukan langkah, dan
membersamakan Islam dalam satu pemahaman komprehensif: Islam yang unggul
dan tidak ada yang mengungguli.
Namun di tataran realitas,
justru yang terjadi adalah kebalikannya. Mengapa elemen umat yang
berbeda ormas atau madzhab, tapi bisa bersatu bila memiliki kesamaan
hobi. Misalnya; perokok aktif akan sama-sama memiliki kesamaan hobi,
walau latarbelakang berbeda. Lain halnya dengan aktivis gerakan Islam,
semakin mengkaji Al-Qur'an dan Sunnah, malah semakin berpisah.
Apa gerangan yang salah? Menurut hemat saya, kesalahan itu terletak pada dua hal:
Hal pertama: Status keterikatan dengan gerakan Islam baru sebatas
intisab (keterikatan emosional) belum pada intizham (keterikatan
konseptual).
Status keterikatan secara emosional ini, sangat
mudah dipatahkan. Hanya bila ada kasus atau fenomena like and dislike,
aktivis gerakan Islam ini mudah goyah, galau, bahkan futur sebelum di
kemudian hari malah menjadi penentang dan pembocor rahasia yang
menurutnya supersecret.
Selain itu, status intisab ini pula
cenderung frontal di saat kesal, mencaci maki di saat benci, ringkih di
saat merasa tersisih. Namun ketika cinta melanda, maka tipe ini sangat
fanatik, merasa paling benar, paling sesuai manhaj, dan menapikan
kebaikan pada orang lain.
Tentu tipe intisab ini masuk
dalam kategori "belum matang". Maka bisa dipastikan siapapun dan
dimanapun berada, aktivis gerakan Islam yang baru sebatas intisab akan
sulit menemukan fokus perjuangan. Jika pun berjuang, maka belum mencapai
"isi", "substansi", ataupun "nilai".
Bila ia bergabung di JT,
maka yang ia banggakan adalah: khurujnya. Sedangkan substansi khuruj
tidak ia raih. Bila di tarbiyah, maka ia banggakan marhalah-nya, bukan
substansi tarbawinya. Bila di HTI, ia gembar-gemborkan Islam kaaffah
yang sebatas berganti bendera, anti riba tapi uangnya masih pake unsur
riba, dll. Bila di Persis, maka ia akan mudah membid'ahkan apapun yang
tidak ada di zaman Nabi. Bila di Muhammadiyah, maka akan
digembar-gemborkan kemajuan sosialnya, bukan substansi perjuangan KH.
Ahmad Dahlannya. Bila di NU, maka ia akan banggakan shalawatannya, lupa
akan perjuangan KH. Hasyim Asy'arinya. Namun fokus kerja dan amal ia
sendiri, tidak terlalu nampak. Bangga dengan organisasi yang memang
sudah besar. Sementara dirinya tetap kerdil.
Hal kedua:
Efek hal pertama adalah, rata-rata personal gerakan Islam sulit berpadu
dalam satu tansiq (koordinasi) dan ta'awun (kerjasama tim), padahal
masih satu Kiblat, satu Al-Qur'an, dan satu Nabi.
Jika Islam
itu satu bangunan, sedangkan ormas atau gerakan Islam itu adalah batu
bata dan elemen yang memperkokoh dan memperindah bangunan Islam itu,
maka mengapa aktivis gerakan Islam sudah bertemu dalam satu meja,
berpadu dalam satu kesepakatan untuk menghadapi problem bersama: => Kemiskinan, bukankah umat Islam miskin? => Kebodohan, bukankah umat Islam bodoh? => Keterbelakangan, bukankah umat Islam terbelakang? => Keterjajahan, bukankah umat Islam terjajah? dll.
Kini kita lihat bersama: tansiq dan ta'awun itu seakan sulit dilakukan,
walau hanya dalam forum-forum formal. Tengok masalah Al-Aqsha, kiblat
pertama umat Islam. Kita bisa melihat bersama, mana gerakan Islam yang
konsisten dan tak pernah surut menjadikan Al-Aqsha sebagai masalah
sentral umat Islam. Bahkan seorang pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin,
Imam Asy-SYahid Hasan Al-Banna mengatakan, "Tugas Ikhwanul Muslimin
tidak akan pernah berhenti, hingga 1 nyawa terakhir Yahudi yang
memerangi terbunuh." Bahkan di kesempatan lain beliau mengatakan,
"Ikhwanul Muslimin akan bubar, seiring bubarnya Zinonis."
Namun
di sisi lain, gelora membela Al-Aqsha justru yang nyaring terdengar
adalah: menyerang elemen yang telah jelas membela Al-Aqsha,
mengkafirkan, atau mengumbar fitnah. Justru keanehan yang muncul. Objek
yang dibela sama. Tapi pengaruhnya jauh berbeda. Yang satu benar-benar
melawan musuh. Sedang yang kedua, malah menelikung kawan, menggunting
dalam lipatan, dan sangat menguntungkan musuh.
Kesimpulan Jadi inti dari berjamaah adalah:
1. Menyelami hingga jauh ke dalam, untuk kemudian diimplementasikan
dalam amal nyata: berjamaah karena manhaj bukan karena figur.
2. Inti dari berjamaah adalah tansiq dan ta'awun (koordinasi dan
kerjasama) demi mencapai tujuan yang sama. Percuma kita berada dalam
satu ormas/jamaah, jika kita tidak mampu tegar menghadapi ujian, fitnah,
atau kondisi darurat. Percuma kita hidup berjamaah kalau yang kita
jalani hanya yang enak-enak saja. Sementara di kala susah, kita mundur
teratur. Dan jangan berbicara persatuan umat Islam, jika hanya masalah
kecil saja, kita tak mampu menjaga keutuhan di internal rumah sendiri.
Dengan demikian, jelas beda antara berjamaah dengan berkerumun bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar