BERANDA

Rabu, 28 Agustus 2013

al-Quran dan Pembacanya

Di antara adab membaca al Qur'an adalah kita merasakan bahwa setiap ayat-ayat itu diturunkan langsung berbicara kepada kita.

Hal yang sangat salah bila orang yang mentadabburi al Qur'an menggunakan ayat-ayat yang dia lantunkan untuk men-scan diri orang lain dan melupakan dirinya sendiri. Padahal seharusnya tilawahnya itu digunakan untuk meneropong dirinya, sesuaikah dengan tuntunan al Qur'an atau tidak.

Sebagian orang menganggap bahwa ayat yang bercerita tentang orang kafir dan munafik jangan digunakan untuk menghukum orang muslim. Hal itu mungkin benar kalau yang dimaksudkan itu adalah menggunakan ayat untuk menghukum orang secara fiqh. Hukum terapan, bukan hukum moral.

Pembicaraan al Qur'an lebih ditujukan kepada sifat yang ada pada diri seseorang. Bila sifat seperti yang disebutkan ada pada seseorang, berarti ia harus intropeksi diri. Sekalipun ayat itu menceritakan tentang orang kafir, kalau sifat orang kafir itu ada pada diri seorang muslim tetap saja ayat itu berlaku kepada dirinya.

Kan tidak masuk akal bila seseorang berlaku zalim sementara ia rajin menjalankan segala ritual ibadah Islam, lalu kita katakan bahwa ayat tentang orang zalim yang kafir tidak berlaku baginya, dia kan seorang muslim. Jadi apakah tidak masalah kalau dia zalim? Atau tidak ada kaitannya dengan ayat?

Allah tidak pernah segan kepada siapapun. Siapa yang bersalah harus dihukum sekalipun keningnya seperti lutut onta saking banyaknya sujud.

Kadang kala orang berfikiran seperti murji'ah yang mengatakan sepanjang kita muslim bersyahadat dosa-dosa yang kita lakukan tidak akan merusak keimanan.

Jadi, khitab (arah pembicaraan al Qur'an) berlaku kepada siapapun yang mempunyai sifat seperti yang disebutkan al Qur'an, sekalipun ia seorang muslim yang rajin menjalankan ritual agama, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, tilawah dll, apalagi kalau muslimnya hanya sekadar nompang nama.

Senin, 05 Agustus 2013

Kejujuran Hati

“Maka barangsiapa yang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia telah beruntung.” (QS Ali-Imran: 185.)
Usai perang Khandaq, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan pasukan kaum Muslimin untuk mengepung benteng Yahudi di Khaibar.
Hal ini untuk membuat perhitungan akibat pemimpin mereka, Huyay bin Al Akhtab menghasut kabilah-kabilah agar mengepung Madinah di perang Khandaq.
Saat pengepungan salah satu benteng di Khaibar, tiba-tiba datanglah seorang pengembala Yahudi bernama Aswad sedang menggiring ribuan ekor kambing.
Khawatir mata-mata, maka Aswad-pun ditangkap, lalu dihadapkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.  Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menasehati Aswad dan akhirnya dia taslim dan mengucapkan kalimat syahadat.
“Tapi saya harus kembalikan kambing-kambing ini kepada pemiliknya, ya Rasulullah,” ujar Aswad.
Silakan, hak orang harus dikembalikan,” jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Lalu Aswad mulai memasukkan kambing-kambing itu ke benteng Yahudi, dan pasukan kaum muslimin dilarang menyerang hingga Aswad selesai.
Selanjutnya Aswad ikut bergabung dengan pasukan kaum Muslimin. Siang itu, akhirnya kaum Muslimin berhasil merebut satu dari tiga benteng Yahudi tersebut. Lalu harta rampasan pun di bagi-bagikan, termasuk bagian untuk Aswad. Akan tetapi Aswad menampiknya, dia tidak mau menerimanya.
“Aku tidak menginginkan ini ya Rasulullah, saya ingin syahid dan tertusuk di sini dan di sini,” ujar Aswad sambil menunjuk dada dan lehernya.
Setengah berbisik sahabat bertanya kepada Rasulullah, apakah keinginan Aswad itu sungguh-sungguh atau bukan.
“Kalau kata-kata itu keluar dari hati nuraninya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membuktikannya,” kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Menjelang Ashar, perangpun kembali berkecamuk, dan kaum muslimin berhasil merebut benteng kedua. Namun Aswad gugur, dia syahid.
Sahabat melaporkan hal ini kepada Raasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. “Aswad syahid ya Rasulullah, dia tertusuk di sini dan di sini,” ujar sahabat itu sambil menunjuk leher dan dadanya.
Faqad shadaq (Sungguh dia jujur),” kata Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
“Dia yang bicara tadi, ya Rasulullah,” tanya sahabat?
“Benar, dia itu,” jawab Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan Aswad akan menjadi ahli surga.
Dalam keterangan lain dikisahkan, bahwa sejak mengucapkan kalimah syahadat hingga mencapai syahidnya, ternyata Aswad belum sempat menunaikan shalat, namun takdir berlaku baginya mendapatkan surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Barang siapa diciptakan sebagai ahli surga, maka dimudahkan baginya amal-amal ahli surga” (Al-Hadits).
Kalau ditinjau dari segi umur keimanan, tentu Aswad masih sangat belia, masih mualaf. Namun karena kejujuran hatinya, dia disebut Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai orang sidiq dan berhak mendapat surga Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Subhaanallah, bagaimana dengan kita, yang umur keimanannya jauh lebih tua?” Tanyakan kepada diri kita masing-masing.
Suara tekukur sedih bunyinya
Tentu rindukan bebas terbang
Siapa tak jujur pada hatinya
Tentu selalu merasa bimbang.

Dua Kebahagiaan yang Berbeda

Ramadhan segera berakhir. Pergi selama-lamanya dan tak akan kembali lagi. Ramadhan tahun depan adalah makhluk baru lagi. Idul fitri pun mampir sejenak memberikan kebahagian. Seluruh umat Islam akan berbahagia pada hari tersebut. Tersenyum, tertawa bahkan ada yang berpesta. Namun sebenarnya pada hari itu ada dua macam kebahagian yang berbeda. Semoga kita termasuk kelompok yang pertama dan tidak masuk dalam kelompok yang kedua.

Kebahagian Pertama

Adalah bahagianya orang-orang yang telah mengisi ramadhannya dengan berbagai ibadah dan amal shaleh. Baik disiang hari maupun di malam hari. Siangnya dia berpuasa dengan penuh iman dan perhitungan. Memaksimalkan puasa mata dan telinganya dari yang diharamkan Allah. Menahan lidahnya dari ghibah dan namimah, disamping menahan haus dan lapar. Kemudian dia tetap bekerja dengan penuh semangat, menunaikan amanah dan hak-hak orang lain di tempat bekerjanya. Ia sisihkan sebagian waktunya untuk tilawah Al Quran, membaca makna dan kandungannya, mengulang hafalannya dan berusaha mencicil amalannya sesuai tuntunan Al Quran. Dan yang pasti dia selalu berupaya menjaga shalat wajibnya berjamaah di masjid dan menggenapkannya dengan shalat sunat rawatib

Malam harinya diisi dengan qiyam ramadhan (taraweh) dengan khusyuk dan tenang. Jauh dari perlombaan cepat selesai. Mendengarkan ceramah dan kajian keislaman dari berbagai da’I dan Ustadz untuk menambah ilmu dan wawasan. Lalu menuntaskan tilawah Al Qurannya 1 juz dalam satu hari. Disamping itu dia juga berusaha untuk menerapkan sunnah-sunnah Rasulullah saw dalam berbuka dan makan sahur. Menghindari diri dari sikap berlebih-lebihan dan mubadzir.

Orang ini layak berbahagia pada tanggal 1 syawal, karena Allah telah memberikan janji ampunan bagi yang berpuasa dan qiyamullail dengan penuh iman dan perhitungan. Allah juga janjikan dua kebahagian bagi orang yang berpuasa dengan baik: bahagia dengan berbuka dan bahagia ketika bertemu dengan Allah nantinya. Ia sangat berhak untuk berbahagia karena kemampuan dan keberhasilan melakukan kebaikan, ketaatan dan amal shaleh merupakan karunia Allah yang sangat besar melebihi semua harta dunia. Ia juga sangat berhak untuk berbahagia karena dia telah menjadikan dirinya sebagai hamba (budak) Allah bukan budak diri dan hawa nafsunya. Disamping itu, dia berbahagia karena telah merealisasikan tujuan dari puasa yaitu melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan laranganNya (taqwa).

Kebahagian orang jenis pertama ini biasanya dirayakan dengan tetap menjaga amal shaleh selama hari raya, seperti shalat tepat waktu, menutup aurat, mejalin silaturrahim dan menjauhkan diri dari perbuatan dosa dan maksiat.

Kebahagian kedua

Adalah bahagia karena telah terbebas dari beban puasa selama ramadhan. Tidak ada lagi shalat taraweh di malam hari. Ia bahagia karena memakai pakaian baru, rumah baru dan mungkin juga kendaraan baru. Bahagia karena bisa mudik dan pulang kampung bertemu keluarga dan kerabat. Bahagia karena bisa bertemu teman lama, sahabat, dan reunian dengan sesame alumni sekolah. Bahagia karena berbagai makanan dapat dinikmati kapan saja dan dimana saja. Bahagia karena dapat berpergian bertamasya bersama keluarga ke tempat-tempat rekreasi dan wisata.

Adapun prestasinya selama ramadhan tidak layak untuk dibanggakan apalagi dihidangkan kehadapan Allah SWT. Siang hari puasanya hanya menahan lapar dan haus. Waktu berbuka adalah saat untuk membalas dendam. Shalat wajib jarang berjamaah ke masjid. Shalat-shalat sunnat tak seberapa yang dilakukan. Tarawehpun kalau masih bisa memilih, maka dicarinya yang “tercepat dan terkilat” selesainya. Al quran juga tak sempat menjadi temannya sehari-hari. Apalagi untuk mengkhatamkannya dalam sebulan, itu baginya mission impossible. Doa-doa yang khusyuk penuh penghambaan sangat jarang dilakukan. Apalagi untuk sampai mengalirkan air mata. Dalam beraktifitas dikantor atau tempat kerjanya pun dilakukan dengan loyo tak bersemangat. Pelayanan terhadap hak-hak orang lain tidak maksimal karena alasan puasa.

Dalam mengekspresikan kebahagiannya di hari raya, biasanya kelompok kedua ini juga sering kebablasan. Shalat menjadi mudah tertinggal, masjid tidak lagi dikunjungi kecuali sekali-sekali, aurat dan pergaulan tidak dijaga, dan terlalu mudah jatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat.

Kepada kelompok kedua ini layak diajukan pertanyaan: atas alasan apa anda berbahagia pada hari idul fitri? Apakah anda merasa mendapat kemenangan? Apakah anda telah kembali suci atau fitri? Apakah anda merasa telah mendapatkan ampunan di bulan ramadhan?

Kalau semua pertanyaan tersebut tidak ada jawaban yang jelas, maka masih ada peluang berbahagia. Yaitu dengan segera bertaubat dan memohon ampun kepada Allah atas segala kelalaian, kealpaan, kesombongan, keangkuhan, kecongkakan, yang membuat tidak ikut serta melakukan amal shaleh selama ramadhan. Segera akhiri ramadhan ini dengan curahan air mata penyesalan, kepedihan hati dan kekecewaan atas segala kebaikan yang telah luput. Hanya inilah peluang terakhir dan harapan yang tersisa, tidak ada lagi setelah itu. Moga bisa bergabung dengan kelompok pertama.

Tidak usah kita bicara tentang orang-orang yang selama ramadhan jarang atau tidak berpuasa. Tidak shalat taraweh, tidak menjaga shalat wajibnya dengan berjamaah, atau bahkan meninggalkan shalat wajib. Tidak peduli dengan adab dan etika di bulan ramadhan, tidak tertarik untuk melakukan amal shaleh dan kebajikan. Orang-orang jenis ini semoga Allah berikan hidayahNya, atau kalau tidak, ditakbirkan saja empat kali.

Ya Allah, jadikan kami termasuk kelompok yang pertama… yaa Rabb.

Sabtu, 03 Agustus 2013

PUSARAN-PUSARAN KEBAIKAN DAN ENDING KEZHALIMAN

 

Dr. H. Saiful Bahri, M.A

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

الله أكبر (9  مرات) . الله أكبر كبيراً والحمد لله كثيراً. وسبحان الله بكرةً وأصيلاً. لا إله إلاّ الله والله أكبر، الله أكبر ولله الحمد. الحمد لله الذي فرض علينا الصيام وبعث لنا خير الأنام. أشهد أن لا إله إلاّ الله وحده، صَدَقَ وعْدَه ونصَر عبْدَه وأعزّ جُنْدَه وهزَم اْلأحْزَابَ وحدَه، وأشهد أنّ محمداً عبده ورسوله لا نبي بعد، فصلوات الله وسلامُه على هذا النبي الكريم وعلى آله وذريته وأصحابه أجمعين. أمّا بعد، فيا عباد الله أوصي نفسي وإياكم بتقوى الله، إنه من يتق ويصبر فإن الله لا يضيع أجر المحسنين. يقول المولى عز وجل: ﴿ وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَىٰ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَىٰ إِلَى الْإِسْلَامِ ۚ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ﴾ (الصف: 7).

 طِبْتُمْ وطابَ ممْشَاكُمْ وتَبَوّأتمْ مِن الجنّة منزلاً .

Allahu Akbar x 3, walillahil hamd
Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah.
Segala puji dan syukur kita kumandangkan di tempat ini. Menandai kemenangan yang dikaruniakan Allah Swt. Sebuah kemenangan yang diraih melalui sebuah proses. Melalui sebuah pengondisian. Melalui kucuran rahmat, maghfirah dan kelembutan Allah. Melalui kebersamaan. Membingkai kasih sayang. Meredam iri dan dengki serta permusuhan. Menjadi sebuah satu. Satu pembebasan dari murka dan kemarahan Allah, berharap ganti ridho dan cinta-Nya yang akan angkat kita ke derajat orang-orang dekat-Nya, derajat orang bertakwa.
Simaklah panggilan lembut-Nya tatkala mewajibkan puasa terhadap kita. Dia menggunakan panggilan khusus yang bahkan sebelumnya tak pernah dikenal oleh Bangsa Arab. (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا) “wahai orang-orang yang beriman”. Secara eksplisit panggilan seperti ini hanya dipakai pada surat atau ayat-ayat yang turun di Madinah; yaitu diulang sebanyak delapan puluh sembilan (89) kali. Mengindikasikan banyak hal; di antaranya:
  1. Panggilan tersebut adalah panggilan sayang dan cinta karena menonjolkan pemenuhan perintah untuk mengimani Allah, Rasul dan seterusnya. Sekaligus berfungsi sebagai pujian.
  2. Panggilan tersebut selalu digunakan dalam bentuk plural. Menandakan bahwa dalam kondisi bersama dan berkelompok lebih mudah dan memungkinkan untuk mengapresiasikan keimanan dan perilaku keagamaan. Sekaligus perintah untuk merekayasa kebaikan secara sosial. Seperti pendidikan Ramadan, tatkala banyak orang berpuasa (wajib), kemudian membiasakan baca al-Quran, qiyamullail (tarawih dan tahajud), berdoa, bersedekah, silaturahmi dan sebagainya. Maka secara tak sadar kita lebih mudah melakukan hal-hal tersebut. Saat itu orang yang terbaik di antara kita adalah benar-benar orang berkualitas sebagai cerminan doa ibâdurrahmân (وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا) “jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang bertakwa”. Itu adalah permohonan menjadi yang terbaik di antara orang-orang baik.
ALLAH telah turunkan di bulan Ramadan beberapa pusaran kebaikan. Membahas taklif ini kita perlu sisir semua ayat yang berkaitan dengan puasa. Minimal ayat-ayat 183-187 dari QS. Al-Baqarah. Setidaknya ada beberapa poin pusaran kebaikan tersebut:
  1. Puasa yang diwajibkan menjadi kebiasaan sebulan penuh, padahal ibadah ini di luar bulan Ramadan menjadi luar biasa dan hanya dilakukan oleh orang khusus saja (QS. 2: 183) bertemakan pengendalian diri dari yang diperbolehkan, self control, kejujuran, kepekaan sosial sekaligus totalitas ketaatan.
  2. Allah sempurnakan setelahnya dengan menyebut bulan Ramadan sebagai waktu yang di dalamnya diturunkan al-Quran (QS. 2: 184). Ini menandakan di bulan ini kita diminta Allah untuk tingkatkan interaksi dengan al-Quran (membaca, menadabburi, mengajarkan, menebar kebaikan dan hikmahnya disamping tentunya mengamalkan isinya). Bahkan Allah turunkan sebuah surat khusus yang membahas kemuliaan sebuah malam yang dijadikan fasilitas turunnya al-Quran, yaitu malam lailatul qadar. Yang nilainya melebihi seribu bulan. Bukan sama dengan, tetapi lebih baik dari. Dan derajat kebaikan tersebut hanya Allah saja yang mengetahuinya. Allah juga tak katakan, malam tersebut lebih baik dari seribu malam. Barangkali ini memberi support bagi para pecinta al-Quran agar ia semakin bersentuhan dengan al-Quran untuk raih kemuliaan yang melebihi seribu komunitas, atau jauh di atas 30.000 orang lainnya. Karena bulan adalah kumpulan/komunitas malam-malam biasa. Dan hanya satu yang diistimewakan-Nya, malam lailatul qadar.
  3. Diayat selanjutnya Allah beritakan bahwa Dia sangatlah dekat dengan hamba-Nya (QS. 2: 186). Barangkali inilah kedekatan tanpa sekat, yang menandakan Dia berikan perlakuan khusus bagi siapa saja yang berdzikir dan memohonnya melalui doa. (أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ). Maka berdoa menjadi ibadah yang dianjurkan di bulan ini. Allah angkat derajat dan nilai doa di bulan ini melebihi di bulan lainnya.
  4. Allah memerintahkan kita untuk mengakhirkan sahur, merupakan kebaikan yang luar biasa (QS. 2: 187). (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ) Hal tersebut dimaksudkan supaya kita kemudian ringan langkahkan kaki untuk tunaikan shalat shubuh di masjid atau musholla. Allah mudahkan shalat shubuh bagi kita, shalat yang sangat berat bagi orang-orang munafik. Ini pertanda sayang Allah, jauhkan kita dari sifat tersebut.
  5. Pemenuhan hak-hak keluarga. Lihatlah betapa lembutnya Allah sindir kita untuk tetap penuhi hak-hak keluarga kita di malam-malam bulan Ramadan, di saat Dia melarangnya di siang hari (QS. 2: 187). (أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَائِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ) karena ibadah tidaklah identik dengan mengesampingkan fitrah manusiawi, tidak identik dengan terlantarkan hak keluarga untuk disayangi dan diperhatikan. Ini sekaligus sebagai mukaddimah nantinya saat Allah sunnahkan i’tikaf akan lebih mudah mengkondisikan keluarga dan meninggalkan sementara kedekatan dengan mereka (وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ).
  6. Di bulan ini Allah juga didik kita untuk senantiasa hidupkan malam-malamnya dengan shalat, berdzikir dan mengakrabi al-Quran. Baginda Nabi Muhammad SAW bersabda: (من قام رمضان إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه) [HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah ra.] secara labih khusus beliau juga menyarankan kita untuk perbanyak qiyamullail sebagai sarana raih lailatul qadar (من قام ليلة القدر إيمانا واحتسابا، غفر له ما تقدم من ذنبه)
  7. Selain hal-hal di atas Allah juga kondisikan umat Islam untuk gemar bersedekah dan tunaikan zakatnya, gemar silaturrahmi dan menyemai kelembutan serta perbanyak maaf demi raih maghfirah dan ampunan Allah. Dengan banyak memaafkan, tak berlebihan jika seseorang kemudian mengharap maaf dari Sang Maha Pengampun. Ada banyak pusaran-pusaran kebaikan lainnya yang Allah kondisikan dan permudah untuk dihadiahkan kepada hamba-Nya yang tekun mencari.

 

(يا باغي الخير أقبل ●  ويا باغي الشر أقصر)
Wahai pemburu kebaikan terimalah●  wahai pelaku keburukan berhentilah
Allahu Akbar x 3, walillahil hamd
Ma’asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah
Hari kemenangan ini pula menandakan dahsyatnya kekuatan cinta dan kebaikan. Hari kemenangan yang dirayakan dan disunnahkan untuk siapa saja; tua muda, besar kecil, lelaki dan perempuan. Semua disarankan berpartisipasi di dalamnya. Di sebuah tanah lapang dan tempat terbuka, menampung segala bentuk kebahagian yang diframe dengan ketaatan dan ketundukan pada Allah. Bukti kesanggupan menerima titah-Nya selama sebulan penuh serta tekad melanjutkan spiritnya selama sebelas bulan sisanya.
Hari ini, kita juga menyingkirkan segala representasi kezhaliman. Sombong, angkuh, dengki, iri, permusuhan, saling curiga, menindas dan sebagainya. Karena tak ada lagi tempat bagi kezhaliman untuk bersemayam dalam diri kita, apalagi kita biarkan tersebar ke tengah-tengah masyarakat.
Kezhaliman yang selama ini ikonik dengan simbol Firaun selalu diulang-ulang pembahasannya di dalam al-Quran. Supaya kita ambil ibroh dan pelajaran agar kita tak terjebak di dalamnya, ikut mempraktekkan ataupun melakukan pembiaran terhadap terjadinya kezhaliman.
Mari renungi tabiat-tabiat kezhaliman Firaun:
  1. Merasa menjadi yang tertinggi dan tak tertandingi, menahbiskan dirinya sebagai tuhan (أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ) “Akulah tuhanmu yang paling tinggi” (QS. An-Nâzi’ât [79]: 24), dewa yang disembah dan dielu-elukan. Tak terbantahkan titahnya, dikelilingi puji-pujian yang sebenarnya hanya keluar dari para penjilat di sekelilingnya.
  2. Merasionalisasikan kezhalimannya dengan merakayasa dukungan rakyatnya melalui berbagai media padahal sang zhalim tak perlu izin dan rasionalisasi untuk melakukan kezhaliman. (وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَىٰ وَلْيَدْعُ رَبَّهُ ۖ) “Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya…” (QS. Ghafir [40]: 26). Dan karena sebelumnya pun ia tak perlu alasan untuk membunuhi bayi-bayi lelaki Bani Israel, hanya karena mimpi dan selalu terhalusinasi serta terobsesi oleh bunga tidur yang sangat menakutinya.
  3. Melakukan tekanan psikis (psy war). (قَالَ أَلَمْ نُرَبِّكَ فِينَا وَلِيدًا وَلَبِثْتَ فِينَا مِنْ عُمُرِكَ سِنِينَ) (QS. Asy-Syu’arâ [26]: 18). Firaun ungkit budi baiknya pada Musa agar ia jatuh mentalnya serta urungkan untuk mendakwahinya dan hentikan kezhaliman yang dilakukannya.
  4. Pemutarbalikan fakta (إِنِّي أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ) “karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi” (QS. Ghafir [40]: 26) Siapa sesungguhnya yang berbuat kerusakan dan takut posisinya tergeser oleh Musa?

Dan nampaknya kisah kezhaliman ini tak berhenti, meski sangat ikonik dengan simbol zhalim, tokohnya akan terus berganti. Firaun memang terbujur kaku di museum Tahrir, Cairo di Mesir. Tetapi menitis pada setiap kezhaliman yang terjadi setelahnya.
Simaklah kisah pembantaian umat Islam di Suriah. Dan kini parade kezhaliman sedang dipertontonkan kepada dunia, melalui kudeta militer terhadap pemimpin negeri Mesir yang terpilih secara demokratis. Padahal dalam sejarah negeri itu, para aktivis Islam ketika kalah dalam pemilihan, mereka tetap menerima hasilnya, meski prosesnya penuh kecurangan. Namun, tampaknya kezhaliman tak perlu demokrasi dan harus menunggu empat atau lima tahun lagi. Maka kezhaliman padu dengan ketergesa-gesaan dan kecerobohan. Nyawa-nyawa yang melayang pun seolah tak berharga, dengan mengatasnamakan rakyat mereka tulikan telinga untuk dengar aspirasi rakyat yang lainnya yang sebelumnya telah memenangkan pemilu.
Padahal hancurnya dunia lebih ringan bagi Allah dibanding hilangnya satu nyawa seorang mukmin. Dan karena “barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al-Maidah: 32)
Para pejuang HAM pun mendadak diam, enggan sampaikan dukungan atau sekedar ungkap dan tuliskan fakta. Media pun tersetting untuk memback up kezhaliman ini, atau setidaknya mendiamkannya.
Tapi yang pasti kezhaliman akan menemui endingnya yang hina. Firaun menjemput kematiannya dengan tenggelam. Sebagaimana Namrud, ikon kezhaliman sebelumnya yang mati “hanya” melalui seekor nyamuk yang masuk di dalam hidungnya. Abu Jahal, sang zhalim yang lain juga menemui ajalnya di tangan dua orang anak kecil (Muadz dan Mu’awidz), bukan di tangan petarung dan jagoan. Itulah cara kematian yang terhina.
Mudah-mudahan Allah pelihara kita untuk tetap berada dalam pusaran-pusaran kebaikan, sehingga kita selalu mudah melakukan kebaikan dan memiliki kepuasan melaksanakan dan menebarkannya kepada sebanyak mungkin makhluk-Nya. Serta dijauhkan dari orbit-orbit kezhaliman, mempraktekkannya ataupun mendiamkannya atau bahkan mendukungnya secara membabi buta dikarenakan silau dengan materi dunia dan gila jabatan serta popularitas.

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا. اللهم صل علي سيدنا محمد وعلى آله وصحبه وسلم .اللهمّ اغفر لجميع المسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك سميع قريب مجيب الدعوات. اللهم تقبل صلاتنا وقيامنا وصيامنا وركوعنا وسجودنا وتلاوتنا وصدقاتنا وأعمالنا، وتمّم تقصيرنا يا رب العالمين. اللهمّ إنك عفو تحبّ العفو فاعف عنا يا كريم. اللهمّ توفنا مسلمين وألحقنا بالصالحين . اللهمّ انصر إخواننا المستضعفين في فلسطين وفي سوريا وفي مصر وسائر بلاد المسلمين. رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا. ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار. والحمد لله رب العالمين

تقبل الله منا ومنكم وكل عام وأنتم بخير وإلى الله أقرب وعلى طاعته أدوم

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Baca dan Tadabbur Qur'an

Syekh Mahmud Khalil al Hushary:
Kewajiban orang yang membaca al Qur'an untuk menyibukkan hati dan fikirannya pada makna setiap kalimat yang ia ucapkan. Ia harus mengetahui kemana arah tujuan setiap ayat. Sekaligus ia harus menghayati segala perintah dan larangannya.

Selanjutnya, ia ukur seluruh sifat dan perbuatannya dengan kandungan ayat-ayat itu. Andaikan ia berada pada posisi kurang ia harus menghadap dengan seluruh anggota tubuhnya kepada Tuhannya. Dan ia harus minta ampun dari segala dosanya.

Andaikan ia berlalu dengan penuh keseriusan ia harus memuji Allah dan meminta kepada-Nya supaya selalu diberi bimbingan dan kelurusan.

Dan tadabbur adalah tujuan paling utama dari membaca Al Qur'an.

Di antara bala' yang paling bahaya itu adalah bahwa setiap orang mengira kandungan ayat al Qur'an yang ada selalu ditujukan kepada orang lain, hingga ia tidak memperobeh faedah untuk dirinya sendiri.

Jumat, 02 Agustus 2013

Antara Mempersulit Pernikahan dan Kesulitan Pernikahan

Oleh : M Fauzil Adhim
Adakalanya terhambatnya akad nikah karena keluarga wanita mempersulit proses pernikahan. Adakalanya, kedua pihak tidak mempersulit proses, tetapi mereka menjumpai kesulitan-kesulitan. Yang pertama, membuat orang merasa terhalang dan dihambat. Yang kedua, insya-Allah dapat memperkokoh ikatan ketika keduanya merasa mendapat tantangan yang harus disikapi dengan baik, arif, bijaksana, dan tenang.
Adakalanya sebuah pernikahan harus menghadapi kesulitan untuk menguji kesungguhan dan kejernihan niat. Ketika menghadapi masalah ini, sebagian mungkin lari atau segera berhenti di tengah jalan. Sebagian lagi tetap mencoba untuk tidak menyerah.
Kesulitan adalah perkara yang wajar, bahkan sangat wajar, dalam sebuah mujahadah (perjuangan). Mencapai pernikahan yang barakah adalah perjuangan untuk menjaga kesucian dan kehormatan. Kesulitan adalah kelayakan. Ia seperti hujan yang diikuti petir, sedang petir membawa muatan energi besar. Sebelum hujan turun, terlebih dulu ada awan. Mereka yang berada di bawahnya merasa kepanasan.
Meskipun demikian, kesulitan yang merupakan ujian kesungguhan niat agar mendapat kemuliaan dan barakah Allah, berbeda sekali dengan kesulitan karena mempersulit diri. Yang pertama adalah takdir Allah yang di dalamnya pasti ada kebaikan. Yang kedua, Allahu a’lam bishawab. Saya tidak bisa menjelaskan. Bagaimana memahaminya? Anda bisa jadi tidak berpuasa ketika Ramadhan tiba. Dini hari Anda makan sahur bersama keluarga. Sesudah itu meniatkan untuk melakukan puasa. Siang harinya Anda masuk-masukkan batang pensil ke tenggorokan sehingga Anda muntah-muntah. Alhasil, Anda harus membatalkan puasa.
Bisa jadi sebaliknya. Anda sudah berniat puasa. Jam tiga dini hari sudah masak dan makan sahur. Pagi sampai siang hari menjaga diri dari melakukan hal-hal yang dapat membatalkan. Tetapi pukul lima sore hari Anda datang bulan (menstruasi) sehingga Anda harus membatalkan puasa.
Yang pertama Anda batal berpuasa karena mempersulit diri. Yang kedua, Anda tidak jadi berpuasa karena mendapatkan kesulitan yang tidak bersumber dari diri Anda. Yang pertama adalah perbuatan dosa, karena Anda memiliki pilihan untuk taat atau tidak taat kepada perintah Allah. Yang kedua insya-Allah justru memberi kemuliaan bagi Anda. Derajat Anda terangkat jika Anda ridha. Anda tidak berdosa ketika membatalkan puasa, karena Anda menghadapi “paksaan takdir” (jabr) yang tidak dapat Anda tentukan.
Keduanya perlu diganti dengan puasa di lain hari. Tapi makna keduanya sangat berbeda.
Ada contoh lain. Ketika puasa, Anda sakit, sehingga Anda tidak berpuasa. Jika Anda ridha, Allah akan membebaskan dosa-dosa Anda sesuai dengan sakit yang Anda alami dan keridhaan Anda menerima. Dalam hal ini, kesulitan meningkatkan kemuliaan dan derajat Anda.
Walaupun demikian, bisa jadi Anda sakit karena Anda tidak mau mengambil rukhshah (keringanan). Misalnya Anda melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan membahayakan fisik jika tidak makan, akan tetapi Anda tidak mengambil hakAnda untuk tidak berpuasa. Akibatnya Anda sakit. Padahal Allah dan Rasul-Nya telah memberi keringanan.
Pada kasus ini, Anda tidak mendapat kesulitan karena takdir mengharuskan demikian. Anda sakit karena Anda menzalimi diri sendiri. Anda mempersulit diri. Anda memberat-beratkan, sehingga Anda terkalahkan.
Wallahu A’lam bishawab wallahul musta’an.

Pertanyaan-Pertanyaan di Padang Mahsyar

Oleh:Ust. Tifatul Sembiring
 
"Dan didatangkanlah para Nabi dan saksi-saksi dan diputuskan diantara mereka dengan adil" QS Az-Zumar:69.

Di Padang Mahsyar, seluruh manusia akan dikumpulkan kembali. Padang yang terhampar luas dan rata, serta terang benderang disinari cahaya Allah swt.

Manusia akan berjejer, berbaris-baris menghadapkan wajahnya kepada Allah menanti perhitungan diri masing-masing. Akan ditimbang seluruh kebaikan dan keburukan manusia, apa yang pernah dikerjakan dan apa yang pernah ditinggalkan.

Sebesar debu kebaikan ia akan melihatnya, dan sebesar debu kejahatannya ia akan melihatnya pula. Tidak ada yang luput dari catatan aparat malaikat yang bertugas mencatatnya sewaktu di dunia.

Tentu banyak pertanyaan yang akan dihadapi, apalagi terkait urusan dengan manusia yang belum selesai saat di dunia. Disinilah pengadilan yang hakiki. Namun ada sabda Nabi saw sbb:

"Tidak boleh melangkah kaki seseorang di hari kiamat (mahsyar) sehingga ia ditanya tentang empat perkara. Tentang umurnya, untuk apa dia habiskan. Tentang jasadnya, untuk apa dia pergunakan. Tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan ke mana dia belanjakan. Tentang ilmunya, apa amal yang diperbuatnya"~ Al-Hadits.

Ini adalah pertanyaan yang berat dan tidak mudah dijawab. Ketika seseorang dikarunia Allah swt berumur panjang, untuk apa dia habiskan. Apakah untuk beribadah kepada Allah swt atau justru untuk maksiat. Umur dari tahun ke tahun, bulan ke bulan, hari ke hari, bahkan dari menit ke menit akan dipertanggung jawabkan di Padang Mahsyar kelak.

Ketika kita diberi tubuh yang sehat, paras yang cantik atau ganteng, untuk apa kita gunakan. Apakah untuk ketaatan kepada Allah, atau melalaikan perintah-perintahNya.

Ketika kita diberikan harta, dari mana diperoleh. Halal atau haramkah harta itu. Lalu dibelanjakan untuk apa? Apakah untuk mendekatkan diri pada-Nya, atau justru berleha-leha semakin jauh dari penghambaan diri kepada Allah swt?

Tentang ilmu dan kepintaran yang kita miliki, adakah pengamalannya sudah sesuai dengan tuntunan syariat. Bagaimana akibatnya, jika yang bersangkutan malah menuntut ilmu hitam dan melakukan kedurhakaan dan kejahatan.

Amat pelik persoalan yang akan melilitnya esok saat yaumul hisab, hari perhitungan. Seorang ayah akan ditanya tanggung jawabnya terhadap isteri dan anak-anaknya, sudahkah ia mendidik dan membimbing anak isterinya ke jalan Allah. Ataukah ia abai terhadap amanah tersebut.

Seorang ibu akan ditanya tentang rumah suaminya, tanggung jawab terhadap anak-anaknya. Bahkan seorang pemimpin akan ditanya tentang orang-orang yang dipimpinnya. Sehingga para pemimpin akan dihisab belakangan, setelah orang-orang biasa selesai.

Lalu berapa lamakah manusia akan berada di Padang Mahsyar. Satu keterangan hadits, mengatakan lamanya ribuan tahun.

"Siapa yang dirincikan hisabnya, maka ia akan celaka," ujar Nabi saw.

"Allahumma yassir hisabanaa, Wa Yammin kitaabana..Ya Allah mudahkanlah hisab kami. Dan berilah kitab kami dari sebelah kanan".

Kalau tupai membidik cempedak
Arahnya jelas tak kan tersasar
Kalaulah lalai mendidik si anak
Jadi musuh di padang mahsyar.


Sumber: www.bersamadakwah.com

Cara Terbaik Memburu Lailatul Qodar

Lailatul qadar adalah malam yang sangat dirindukan oleh seluruh umat Islam. Sebab keutamaannya, malam itu lebih baik dari seribu bulan. "Khairun min alfi syahr," firman Allah di dalam surat Al Qadr. Tidak heran jika banyak umat Islam yang memburu lailatul qadar.

Kepastian lailatul qadar turun pada tanggal berapa, apakah tanggalnya tetap setiap tahun atau berganti-ganti, menjadi misteri tersendiri yang membuat umat Islam semestinya termotivasi untuk mendapatinya, meski tidak bisa memastikannya.

Berikut ini 3 cara terbaik memburu lailatul qadar:

Cara terbaik 3:
Menghidupkan malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dengan ibadah

Ada hadits yang menyebutkan bahwa lailatul qadar (pernah) terjadi pada malam ke-27, tetapi para ulama tidak memastikan bahwa lailatul qadar pasti jatuh pada tanggal itu di setiap tahun. Ulama Syafi'iyah berpendapat lailatul qadar terjadi pada malam ke-21. Mayoritas ulama meyakini, lailatul qadar jatuh pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan. Yakni malam 21, 23, 25, 27, atau 29.

Maka untuk "memburu" lailatul qadar, hidupkanlah malam-malam ganjil pada sepuluh hari terakhir Ramadhan itu dengan memperbanyak ibadah. Lebih utama jika bisa menunaikan i'tikaf di malam-malam itu.

Cara terbaik 2:
Menghidupkan sepuluh malam terakhir Ramadhan dengan ibadah

Meskipun mayoritas ulama berpendapat, sebagaimana hadits Rasulullah, bahwa lailatul qadar jatuh pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan, kenyataan hari ini memperlihatkan malam ganjil bagi sebagian umat Islam ternyata adalah malam genap bagi umat Islam yang lain. Contohnya saja di Indonesia yang saat ini terjadi perbedaan hari dimulainya Ramadhan yang kemudian secara otomatis membawa perbedaan kapan malam ganjil dan kapan malam genap. Karenanya, untuk "memburu" lailatul qadar, hidupkanlah sepuluh malam terakhir Ramadhan itu dengan memperbanyak ibadah. Lebih utama jika bisa menunaikan i'tikaf di sepuluh hari itu sebagaimana dicontohkan Rasulullah, istri beliau dan para sahabat beliau.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:


إِنِّى أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ، وَإِنِّى نُسِّيتُهَا ، وَإِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فِى وِتْرٍ
Sungguh aku diperlihatkan lailatul qadar, kemudian aku dilupakan –atau lupa- maka carilah ia di sepuluh malam terakhir, pada malam-malam yang ganjil. (Muttafaq alaih)

Mengomentari hadits tersebut, Syaikh Yusuf Qaradhawi berkata, "Malam-malam ganjil yang dimaksud dalam hadits di atas adalah malam ke-21, 23, 25, 27 dan 29. Bila masuknya Ramadhan berbeda-beda dari berbagai negara, sebagaimana yang kita saksikan sekarang, maka malam-malam ganjil di sebagian wilayah adalah malam genap di wilayah lain. Sehingga untuk hati-hati, carilah lailatul qadar ini di seluruh malam sepuluh terkahir Ramadhan."

Cara terbaik 1:
Menghidupkan seluruh malam Ramadhan dengan ibadah

Meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa lailatul qadar jatuh pada malam ganjil di sepuluh hari terakhir Ramadhan, ada juga yang mengatakan kemungkinan terjadinya di malam lain di bulan Ramadhan. Jika demikian halnya, maka cara terbaik adalah menghidupkan seluruh malam Ramadhan dengan ibadah. Minimal, di penghujung malam (sepertiga malam terakhir) pada 20 hari pertama Ramadhan dan beriktikaf pada 10 malam terakhir Ramadhan. Mengapa untuk awal Ramadhan di sepertiga malam terakhir? Sebab seperti dijelaskan di surat Al Qadr, lailatul qadar terbentang hingga terbitnya fajar. Kapan mulainya kita tidak tahu, tetapi kapan akhirnya kita tahu: terbitnya fajar. Maka jika pun tak mendapat dari awal, kita tidak ketinggalan dari bagian akhirnya.

Cara terbaik inilah yang dipraktikkan oleh para ulama seperti Imam Syafi'i dan Imam Bukhari yang menghidupkan seluruh malam pada bulan Ramadhan hingga beliau bisa mengkhatamkan Al Qur'an setiap malam. Wallahu a'lam bish shawab.
Sumber: www.bersamadakwah.com