Oleh: Ust. H. Irsyad Safar, Lc., MA.
Membaca beberapa diskusi dan status Teman-teman tercinta alumni
timteng, khususnya Alumni Al Azhar, ana sangat setuju bahwa Kita tidak
usah terjebak membicarakan Syekh Al Azhar. Allahu Haasibuhu… Namun tidak
terhalang agar kita saling tawaashau bil haq, bishshbar dan bil
marhamah. Ana juga ingin menambahkan beberapa poin berikut:
Pertama. Betul Ramadhan itu bulan ibadah dan amal shaleh. Tetapi,
bukan amal shaleh yg terpaku dgn amaliah fardiyah belaka. Bukan sekedar
fiqh shiyam, shadaqah, qiyamullail, dan sejenisnya. Ingat, ramadhan juga
syahrul jihad. Bulan perjuangan, bulan kemanangan umat Islam terhadap
penjajah dan pelaku kazhaliman. Umat juga perlu tahu tentang fiqh jihad.
Apalagi dalam kontek kontemporer. Bukan menghasung umat berjihad,
tetapi memahamkannya, mencerdaskannya, ikut serta mendoakan para pejuang
mujahidin di seluruh dunia.
Ramadhan juga syahrul
muwaasaah (bulan peduli dan berbagi). Rasulullah paling tinggi
kepeduliannya di bulan ramadhan dengan banyak memberi dan berbagi.
Diantara bentuk kepedulian kita kepada saudara2 kita seiman adalah
mengetahui kondisi riil mereka yang sebenarnya. Bahkan ana sangat tidak
setuju kalau mahasiswa Indonesia di timur tengah kerjanya hanya belajar
mata kuliah saja (study oriented). Tidak usah menjadi tim media. Ini
sebuah logika berbahaya. Ditengah media Islam dibredel dan diberangus
serta wartawannya ditangkap dan di penjara. Ditengah pemutarbalikan
fakta dan distorsi berita, justru menjadi wajib bagi siapa yg sanggup
dan mampu untuk menyebarkan berita yang sebenarnya terjadi, kepada
seluruh dunia dan seluruh umat Islam. Jihad media saat ini telah menjadi
fardhu kifayah. Media tanah air tdk ada yg pro Islam dan yg
memberitakan dari sumber yg benar. Semua mengambil sumber barat dan
sekuler. Dari mana umat Islam di tanah air akan tahu kalau kita
berpangku tangan tidak ikut menyebarkan info yang sebenarnya??? Tidakkah
orang yang tahu kejadian sebenarnya terhadap umat Islam lalu membiarkan
berita itu tersembunyi, tidakkah dia akan menjadi berdosa karena
menyembunyikan kebenaran dan membiarkan kebathilan?
Bahkan
di ramadhan yang berkah ini, kita perlu mengajak umat berdoa dalam
qunut-qunut witir kita untuk saudara-saudara kita di berbagai Negara yg
sedang ditindas, dizhalimi, dibantai dll. Bagaimana kita akan mengajak
mereka ikut berdoa dan qunut kalau umat belum atau tidak tahu kenapa
kita qunut? Umat tidak tahu ada apa dengan mereka di sana?. Kita mesti
mencerdaskan umat dengan kondisi umat Islam di Palestina, suriah, Iraq,
dan juga Mesir. Bahkan pekerjaan ini menjadi sangat urgen saat ini.
Disaat kejadian berlangsung. Bila sdh selesai nanti, maka sangat minim
manfaatnya bahkan tidak ada lagi gunanya.
Kedua, ini juga
momen utk mencerdaskan umat bahwa Islam itu bukan ibadah ritual saja.
Islam adalah system menyeluruh yang mencakup aqidah, ibadah, akhlak,
ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya, militer, dakwah, jihad dan juga
politik. Semuanya satu kesatuan yang utuh. Tidak ada dikotomi antara
semua unsur tsb. Pemisahan antara agama dengan politik, ekonomi,
pemerintahaan dan lain-lain adalah SEKULERISME. Umat sudah lama dibodohi
dengan pemahaman bahwa Islam itu hanya shalat, puasa, sadaqah, zakat,
umrah dan haji. Diluar itu tidak usah membawa-bawa agama. Apakah kita
alumni timur tengah akan mengabadikan kebodohan ini kepada umat?
Ketiga, Menurut ana, kita jangan bicara dengan melihat peristiwa
diujung. Lalu mengatakan akhaffud dhararain. Atau haqnun liddimaa.
Mari kita lihat juga permasalahan ini secara utuh.
Satu. Mursi adalah presiden yang sah baik secara syar’I ataupun
secara konstitusi. Bukankah dia ULIL AMRI yang sah Syar’an wa Dustuuran?
Apakah yang membuat dia layak dikudeta? Tidak ada. Melainkan karena
Islam tidak boleh kuat dan berkuasa di Mesir. Apakah Mursi dictator,
zhalim, tangan besi, memperkaya keluarga dan kerabatnya, menangkapi dan
membunuh ulama, membredel media massa??? Semuanya jawabannya TIDAK.
Justru dia bangun pemerintahannya jauh dari kepentingan keluarga. Tetap
rela hidup dirumah kontrakannya. Anaknya tetap bekerja biasa dan bahkan
juga melamar pekerjaan kian kemari. Betapa lawan-lawan politiknya
mencaci, menghina bahkan membuat keonaran sampai merusak fasilitas umum
dan membunuh. Tapi mereka tidak dipenjara atau bahkan dibunuh. Dia
tunjuk para pembantunya di pemerintahan: Menteri-menteri dan para
gubernur dari orang-orang yang baik, shaleh dan kapabel. Dia angsur
membersihkan pemerintahan dari orang-orang fasid dan fasiq peninggalan
dictator mubaarak. Tentunya yg tersingkir akan marah, tidak rela zona
nyamannya terusik. Media massa yang senantiasa menfitnah,
memutarbalikkan fakta, menebar kebohongan, menghina sang presiden dan
lain-lain, tak satupun yang ditutup, dibredel apalagi ditangkap. Apalagi
ulama, beliau hormati Al Azhar dan tidak mau intervensi. Padahal
dictator sebelumnya telah membonsai Al Azhar.
Dengan posisi
dan kondisi ini, apakah alasan pembenaran secara syar’I dan konstitusi
untuk membangkang kepada ULIL AMRI? Apalagi mengkudetanya? Dimana
ayat-ayat dan hadits-hadist taat kepada ULIL AMRI??? Kok tidak digunakan
disini?? Kalau dia tersalah masih bisa dinasehati, karena tak ada
kesalahan yg fatal. Diapun telah membuka pintu dialog selebar-lebarnya.
Kalau memang rakyat tidak menyukainya, turunkan dia dalam pemilu
berikutnya.
Dua. Apakah statusnya secara syr’I dan
konstitusi, orang-orang membangkang kepada ULIL AMRI yang sah, dengan
cara merusak, membakar fasilitas umum, kantor, rumah dsj, mencuri,
merampok, membunuh, memperkosa, mengangkat senjata, bahkan bersekongkol
dengan non muslim, para pendeta, tokoh-tokoh sosialis dan komunis? Dan
ini dilakukan berulang-ulang sejak awal Mursi dilantik menjadi presiden.
Tidakkah perbuatan tersebut sudah termasuk BUGHAT? Tidakkah mereka
sudah masuk dalam katagori ayat Allah QS Al Maidah: 33 (menantang Allah
dan RasulNya, membuat kerusakan di muka bumi, yang seharusnya
pelaku-pelaku itu dibunuh, disalip, dipotong tangannya dan kakinya
secara bersilang)? Tapi sama sekali Mursi tdk melakukan itu kepada
mereka. Lalu mereka kembali melaksanakan aksi terakhir kemaren ini
dengan lebih sadis dan anarkis.
Tiga. Dalam situasi seperti
itu, seharusnya ULAMA pergi kemana? Bukankah harusnya Ulama pergi ke
ULIL AMRI mendampinginya, menguatkannya, memberikan solusi dan jalan
keluar. Kenapa ikut berunding dengan tentara yang mereka juga adalah
bawahan presiden. Kalau Ulama pergi ke tentara, berarti ulama telah
menganggap tentaralah yang berkuasa, dan presiden di bawah tentara.
Berarti bergabung dalam barisan BUGHAT..
Empat. Lihatlah
lagi realita yang terjadi sejak 30 juni sampai hari ini. Yang mati dan
berdarah-darah apakah orang yang memberontak atau pendukung ULIL AMRI
yang sah? Bahkan pasca kudeta, para syuhada berguguran dengan senjata
tentara dan polisi. Semua TV dan koran yang pro Islam dibredel, ditutup
dan para wartawannya ditangkap. Para demonstran pendukung Konstitusi
yang sah dan ULIL AMRI yang sah yang berkumpul secara damai, sama sekali
tidak merusak, tidak anarkis, malah sepanjang waktu mereka shalat
berjamaah, qiyamullail, qunut berdoa kepada Allah untuk kemashlahatan
mesir dan seluruh rakyatnya, setiap hari semenjak 27 juni, lalu justru
merekalah yang ditembaki dengan gas air mata, peluru karet dan bahkan
ada yang tewas..? Dan saat shalat shubuh rakaat kedua mereka ditembaki..
Hal yang sama tidak pernah dilakukan bagi pemberontak di sekitar
istana… Lalu gelombang penangkapan berlangsung sampai hari ini. Ratusan
sudah tokoh-tokoh Islam dijebloskan kepenjara. Partai penguasa langsung
dibekukan. Apakah ini semua akhafuddaraain? Apakah ini semua haqnun
liddimaa? Apakah hal ini semua tdk perlu diketahui umat Islam
sedunia????
Dalam kondisi seperti ini, harusnya Ulama berada di mana?
Sebagai catatan tambahan: Ana tidak setuju kalau kita
memperdebatkan pribadi Syaikhul Azhar, bisa jatuh kepada ghibah. Tetapi
apa yang telah terjadi dan telah terang benderang dilakukan di depan
khalayak, bukanlah rahasia, dan bukanlah gunjing. Tanpa ditambah dan
tanpa dibumbui, itu mesti diketahui. Agar tidak menjadi penipuan
berikutnya oleh media sekuler dan anti Islam. Semua ini tentunya tidak
hal yang sederhana dan tanpa makna. Namun begitu, seharusnya setiap
muslim memberikan loyalitasnya kepada Islam dan Muslimin. Mengedepankan
keutuhan umat. Di Al Azhar Ulama-ulama yang istiqamah, Dosen-dosen yang
lurus dan mengayomi, takut kepada Allah, cinta kepada Rasul dan umatnya,
masih sangat-sangat banyak. Tapi mereka belum mendapat tempat penentu
kebijakan.
Wallahu a’lam bishawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar